Negara menjamin setiap
warga negara untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara bebas dan
bertanggung jawab, sesuai dengan pasal 28 UUD 1945. Hal tersebut yang menjadi
dasar bahwa Indonesia dikenal sebagai salah satu negara demokratis terbesar di
dunia. Namun tujuan negara sesuai yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945
tercoreng akibat praktik pelarangan diskusi oleh aparat hingga oknum kelompok
masyarakat.
Pada (29/9),
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang mengadakan diskusi
keilmuan bertema Marxisme dan Kekerasan Pasca 1965 di Warung Kopi Albar,
Malang. Sebelumnya kegiatan tersebut diagendakan berlangsung di Universitas
Islam Malang (Unisma). Berbagai syarat administratif seperti surat peminjaman
tempat dan perizinan kegiatan kepada birokrat kampus sudah dilakukan oleh
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fenomena Unisma selaku tuan rumah.
Pada awalnya, Pembantu
Dekan (PD) III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unisma memberikan
izin pada tanggal 28 September, serta awak pers mahasiswa (Persma) Fenomena
meminjam ruangan LPPM Gedung B Lt. 2 pada tanggal 24 September 2016. Namun pada
hari pelaksanaan, sekitar pukul 09.00 WIB. Safii, salah satu panitia diskusi
dari PPMI DK Malang dihubungi oleh seseorang untuk menuju Markas Komando (Mako)
Satpam dan diinterogasi mengenai acara yang akan digelar. Di Mako, panitia
ditanyakan oleh dua orang yang mengaku tim Satpam.
Siang hari, PD III FKIP
menghubungi Safii untuk menghadap ke Rektorat. Saat itu, Safii mengajak Uni
selaku Pemimpin Umum LPM Fenomena serta menghubungi Sekjen PPMI Kota Malang,
Imam untuk ditanyakan detail acara. Pada pukul 13.00 , Imam, Bayu selaku
Advokasi PPMI DK Kota Malang, Wahyu selaku panitia diskusi, dan Uni dari LPM
Fenomena hadir di ruang rektorat. Saat itu kami bertemu Pembantu Rektor (PR) I
dan PD III FKIP. Saat itu, pihak Unisma menyampaikan tidak bisa memberikan izin
diskusi karena terkait masalah administrasi, yakni kurangnya proposal dan pihak
PPMI tidak mengabarkan langsung pihak Unisma. Ketika ditanyakan apakah permasalahannya
adalah konten acara, pihak Unisma tidak memberikan keterangan, permasalahan
menuju ke syarat administrasi peminjaman tempat. Pasca lobbying bersama birokrat Unisma, tim dari PPMI
DK Malang menyampaikan bahwa tetap menyelenggarakan diskusi di luar kampus.
Setelah itu, tim PPMI
mencari informasi pelarangan diskusi tersebut dan menanyakan ke salah seorang
teman di Organisasi Intra Kampus Unisma yang menyatakan banyak orang terduga
intelijen dari Kodim dan Polres mendatangi Unisma di pagi hari. Serta dugaan
dari Safii, PPMI DK Malang menduga diskusi digagalkan oleh aparat. Bahkan,
melalui keterangan dari kawan tersebut panitia diskusi malah diisukan membawa 1
bis eks tahanan politik PKI dari Madiun. Padahal, hal tersebut tidak dilakukan
oleh panitia sama sekali.
Sore 29 September 2016,
pukul 15.00 panitia menggelar rapat di warung kopi Jelata, daerah Merjosari
Malang. Panitia memutuskan untuk tetap menggelar diskusi namun undangannya
terbatas, hanya pada internal LPM, Aliansi Jurnalis Independen, dan beberapa
organisasi mahasiswa ekstra kampus di Malang. Tempat diskusi dikabarkan pukul
16.20 melalui media Whatsapp, yakni di Warung Kopi Albar pada pukul
18.00.
Pukul 18.00, pemateri
yakni Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) dan Roy
Murtadho dari Front Nadhliyin datang ke lokasi kegiatan. Awalnya pelaksanaan
kegiatan berjalan lancar hingga pukul 20.00. Namun, sepanjang pelaksaan
kegiatan diskusi satu persatu aparat berpakaian sipil datang ke lokasi acara
tanpa menyampaikan identitasnya. Hingga pada pukul 21.00 panitia dihubungi dan
diajak berdiskusi di depan pintu gerbang untuk menghentikan kegiatan diskusi
karena ada kelompok warga yang tidak suka dengan kegiatan diskusi yang
dilaksanakan. Beberapa orang yang tidak diketahui identitasnya bahkan terlihat
mengambil foto wajah panitia dan peserta diskusi.
Berbagai negosiasi yang
dilakukan untuk melanjutkan acara terpental karena masalah izin dan meresahkan.
Akhirnya sekitar pukul 21.30 dua orang yang tidak diketahui identitasnya langsung
menghentikan acara ketika diskusi berlangsung. Sontak peserta diskusi langsung
mengambil gambar dan terjadi beberapa keributan. Panitia langsung mengamankan
pemateri ke tempat penginapan. Bersamaan dengan itu, datang sekitar 7 orang
berpakaian gamis dan surban putih ke warung kopi Albar. Diskusi resmi berhenti
pada pukul 21.30 serta berbagai pihak yang ada di warung kopi tersebut diminta
meninggalkan warung kopi Albar.
Kejadian pada tanggal 29 September 2016 tentu saja mencoreng kebebasan
berpendapat dan berkumpul bagi warga negara, khususnya mahasiswa. PPMI DK
Malang mengecam keras tindakan represif tersebut dengan alasan apapun. Terlebih
tindakan dari aparat negara yang masuk ke ruang – ruang akademis dan keilmuan
yang menggangu kegiatan kampus dan mahasiswa. Oleh karena itu PPMI DK Malang
yang beranggotakan 23 LPM menyataan sikap:
1. Menolak represifitas yang dilakukan oleh
aparatur negara kepada ruang – ruang diskusi di dalam kampus atau ruang publik.
2. Mengecam tindakan pelarangan diskusi
yang telah dijamin oleh Undang–undang Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan
berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.
3. Mengajak seluruh Lembaga Pers Mahasiswa,
Insan Pers, dan Seluruh organisasi mahasiswa yang ada untuk menentang dan
mengecam segala tindakan yang represi dan terus berjuang untuk menumbuhkan
diskusi keilmuan di dalam kampus atau luar kampus.
4. Meminta Presiden Joko Widodo untuk
menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu sehingga kejadian represifitas
diskusi terkait tema HAM dan kekerasan pasca 1965 tidak terjadi lagi di
berbagai tempat lainnya.
Narahubung:
Imam Abu Hanifah (085696931450)
Bayu Diktiarsa (081207874525)
Sofi Irma Rahmawati (085748811143)